Remuk
semakin banyak jumlah huruf yang saya ketik,
semakin banyak lapisan memori yang terhisap
ke dalam sebuah mesin waktu.
sebuah mesin waktu yang menarik pikiranku kembali ke tahun 2014.
2 0 1 4
butuh sekitar dua ratus lima puluh kilogram
untuk meremukkan tengkorak manusia.
namun sebaliknya,
emosi manusia justru adalah
bagian yang lebih ringkih
dan halus.
contohnya Ken,
pacarku yang
pertama kusayang dan sekaligus yang
pertama kalinya kuajak duduk berhadapan
hanya untuk mengakhiri semuanya
tepat di depan matanya.
kuhancurkan dinding sunyi
oleh dentuman kata-kata
yang kulatih semalam suntuk
kata-kata yang sudah kupoles
dalam malam panjang yang penuh doa.
teori kupahami,
namun kenyataannya aku tak tahu apa-apa
tak pernah kubayangkan bahwa rasanya bisa menghantam sekeras tabrakan mobil
lagi-lagi aku yang mendadak menginjak rem
saat mobil sedang melaju kencang,
kemudian terpental, terpuruk dan terjatuh dalam kalutnya emosi.
dia mulai menghancurkan sisa dinding sunyi
air matanya mengambang di tepi kelopak... penuh, tinggal menunggu waktu untuk jatuh
tanganku diraihnya, mencari tempat berpijak
pelan dan pasti, kutarik kembali tanganku.
percikan fragmen ingatan bermunculan:
pengapnya jakarta malam itu,
ratusan langkah kakiku yang selalu diikutinya,
puluhan kali menoleh ke belakang—takut dikejar,
gelapnya taman kota tempatku bersembunyi,
detak jantung yang rasanya hendak meledak saat ponselku berbunyi—namanya,
perasaan kontradiktif yang menikmati petak umpat malam itu,
mobil hitamnya yang masih terparkir di parkiran mal,
menatap langit namun ingat suaranya.. wajahnya..
dan dari serpihan ingatan itu, muncullah kilasan ketika kami kembali menyambung:
ratusan malam kemudian—luka memulih perlahan oleh kasih,
hangat tangannya yang membuat remuk yang lama perlahan kembali utuh,
berbagi malam yang sama namun kembang api yang berbeda,
makan siang bersama ibunya... keluarganya,
malam itu.. di tepi portal jalan,
ponselku berbunyi—mama,
mencariku, gelisah, seakan naluri seorang ibu tahu anaknya sedang rapuh.
dalam beberapa detik pertama sebelum aku menjawab,
dia — orang yang kucinta itu— memintaku berbohong
”jangan bilang kamu di sini.” “bilang saja kamu di tempat lain.”,
dan di detik itu juga,
rem dalam diriku diinjak sekeras-kerasnya.
hubungan yang sedang melaju kencang kembali terhempas;
remuk lama pecah lagi
mengeluarkan debu dan darah dari luka yang belum sempat sembuh.
kita terluka bersama, dia luka parah, aku.. menyalahkan mobil kita yang tidak pernah ada crash cushion-nya..
ini semua bagaikan serpihan beling yang bersemburan di udara…
tajam…
mentok sampai ketinggian tertentu di
atas kepala kita,
gravitasi pun mulai mengambil perannya
merangkul serpihan kaca itu lalu menghantamkan,
menikam beling-beling tajam
tepat di ubun-ubun kepala kita dengan keras.
tikaman yang melesat sangat dalam
sebegitu dalam sampai ujung beling itu sanggup menyayat
hati kita
dan hati kita terluka.
lalu,
apakah ini semua salah saya?