11-11-11

Aku meniup lilin di hadapanku, bukan karena hari ulang tahunku, tapi tadi “mati lampu”. Dan listrik sudah kembali menerangkan semua yang padam. Ada mesin genset di rumah ini, namun cahaya lilin bagiku sungguh klasik. Ini tahun 2011. Aku sedang dekat-dekatnya dengan seseorang yang sudah tertidur karena perbedaan waktu 4 jam. Di sana sudah larut malam.

Keesokannya di tanggal 11, kita janjian untuk saling menatap layar laptop kita setelah aku selesai bekerja dan kamu seusai jam kuliah. Entah ada angin apa, kamu mengajakku untuk mulai menjalin hubungan. Pacaran maksudnya. Tanpa dipikir, kujawab iya. Nampak wajahmu yang bahagia, tertawa gak percaya. Akupun gak percaya. Akupun. Tanggal sebelas di bulan sebelas di tahun dua ribu sebelas, aku punya pacar. Kita janjian untuk jadian.

Pacar yang ternyata tak kukenal. Seperti apa dia, adiknya siapa, dia teman-temannya siapa.. Siapa nama orang tuanya, kenapa dia jauh di sana, tanggal-tanggal penting tentangnya, aku gak tahu. Tapi, kenapa aku segampang itu?

Belum seminggu kita lewati, niat hati hubungan ini mau aku segera akhiri.

Hari itu hari Minggu, entah sore atau pagi, yang jelas dari layarku kulihat kamu sudah mengenakan kemeja rapi, siap-siap untuk pergi. Ucapan dua detik di hari ketiga pacaran dari mulutku:“Aku mau putus ” cukup untuk membuatmu duduk kembali, dan mendekatkan mukanya ke layar macbook pro nya.

Dalam bahasa ibunya dia bertanya: Hah???

Dengan cepat aku melanjutkan maksud dan menjelaskan. Tidak ada perbedaan bahasa di sini. Cuma perbedaan waktu.

Menit demi menit terlewat, kamu menangis, memohon agar hubungan terus berjalan. Aku tak tega, tapi ini tetap kutahan. Aku telan kegagalan dan kemisteriusan. Baiklah, kita lanjutkan hubungan.

Masuk satu bulan, kamu menembus perbedaan waktu dan akhirnya kita dipertemukan. Namun tetap kamu adalah pacar yang tak kukenal. Kamu mencoba terbuka tapi intusiku selalu gak enak. Gak nyaman. Kalung robot pemberianmu yang sungguh ku suka, menjadi berat setelah kamu kalungkan. Bertemu langsung denganmu, walau cuma 2 hari, kaki ini.. tanganku, leherku, pinggang ini rasanya seperti dibelenggu oleh rantai berduri. Aku coba untuk menolak bertemu, tapi kamu ngotot gak mau. Setiap bulan, aku minta putus. Kamu menangis, menangis terus dan mengancamku. Itu mampumu.

Selepas tahun baru, aku mainkan mampuku.

Ku retas akun Facebook-mu diam-diam. Intuisiku akhirnya dipertemukan dengan rahasia-rahasiamu, dengannya, dengan mereka.. deretan para manusia yang aku enggan berdiri bersebelahan dengan mereka. Kamu tenyata juga memberikan lagu-lagu cinta yang kamu kirim ke diriku dan ke dia.

Kampret lo…

Tanpa membenarkan diri, aku minta putus untuk terakhir kali. Kamu tetap menangis dan mengancam seperti yang sudah-sudah. Aku berontak, melepas semua rantai duri ini yang ternyata baru kumengerti, selama ini selalu menyiksa karena kubiarkan dan kuabaikan. Luka darah yang tak terlihat ini, dari ujung kepala sampai kaki.. ulah diriku sendiri. Berhenti ku mengamati luka lebar dan dalam di kaki, mendongak mencarimu namun tak kudapati.. bayanganmu pun tidak. Secepat itukah selalu larimu?

Cinta tidak pernah di sini sejak hari pertama.

Memiliki borok di kaki masih lebih baik daripada hilang kaki.

Yang kamu ingin jadikan rusuk, sudah kamu rusak.

2011

Next
Next

For The Record — Legacy Preserves Goodness