For The Record — Legacy Preserves Goodness

(The use of AI translation on this piece of writing will damage the wit, the message and the authenticity. You may try however you won’t find out why and which one.. if you don’t believe me).

Norwegia. Berdiri di sebelah danau Finsevatnet yang membeku memutih di awal Februari.

Beberapa menit lagi aku harus kembali duduk di bangku kereta. Biarlah ku mengenang dirinya.

Beberapa dekade lalu, pada bulan ini dan tanggal segini, lahirlah seorang anak lelaki. Dipelihara dengan baik dan penuh kasih sehingga dia bertumbuh tinggi namun rendah hati. Di Indonesia, tempatnya, di tanggal ini, yang menumpuk itu air.

Kuhentikan tulisanku sejenak, memandang pemandangan yang putih semua, tiupan angin dingin yang sungguh tidak ramah, kulitku yang mulai memucat, memberi jeda. satu.. dua … dan tiga, lalu kembali menggores pena:

Di depan mataku, saljulah yang menumpuk tinggi. Tumpukkan air yang terkena proses kristalisasi. Jika dia ada di sini, penasaran kuingin melihat reaksinya ketika melihat tumpukan lebat salju di atap hotel Finse yang bercorak kayu dan aksen merah kurang lebih dua meter dalam waktu tiga hari saja. Mungkin, dia tertawa. Nyatanya, aku di sini yang justru menangis melihat salju yang menutupi hotel Finse yang sekarang cuma sedikit merahnya. Minus dua puluh derajat celsius.

Kuhentikan tulisanku lagi, segera membenamkan jemari yang berasa mau patah ini ke dalam saku jaket hangatku, berlari ke arah kereta hijau Vy. Derap langkahku melambat karena terbenam salju dengan mantap selutut kaki, kadang malah ada yang lebih tinggi lagi. Tidak banyak manusia di sini tapi semua yang serba putih dan berawan seperti ini, menyakitkan mata. Aku duduk di kelas eksekutif dengan unlimited hot drinks sebagai keuntungannya. Teh panaslah yang menemani perjalananku. Tak lama kereta mulai melaju, mari kembali menggores pena:

Pria Februari itu berjuang melawan penyakitnya lalu kalah dan menghembuskan napas terakhirnya di bulan Juni. Hampir delapan bulan berlalu, aku masih terpaku di sini. Kalau aku punya pesawat jet, aku mau melayat ke makamnya.

Menyangkal kepergiannya yang menyeretku ke tumpukan selang waktu ingatan yang pernah kubagikan bersamanya di tahun 2012.

2012.

Dia menyapa dengan senyum lebarnya, baju kotak-kotak berkacamata dengan harap aku menyukainya. Dia selalu ada, dialog selalu ada. Hampir semua detail tentangku tak pernah lepas dari ingatannya. Dialah manusia yang mudah kuhampiri dan kadang suka kuhindari. Kita bersebelah namun kadang dialah yang kuberi sunyi. Memecah sunyi, dia ahlinya. Kita mungkin saling suka, itu fakta. Dia yang cinta. Aku..

Bertahun-tahun kita selalu bertemu sapa, tanpa pernah bertemu Papa. Tapi kita masih saling bercerita. Sering bersebelahan namun tidak pernah berpegangan tangan. Benar-benar status hubungan yang ..

Teman-temanku, teman-temannya, mengira aku itu mantan pacarnya.. Mereka memang paling sok tahu.

Ibuku, kita, ibunya.. gak ada yang tahu. Ya, kita gak tahu kita ini apa. Dia biasanya langsung menyahut: “Tempe.”

Dia memang seabsurd itu, kita se-level mungkin karena dia sudah hidup bertahun-tahun lebih lama sebelum aku lahir.

Kalau aku minta air, dia akan memberi air yang terjernih dari mata air yang terbaik. Aku belum begitu lapar, tapi dia sudah membawaku langsung ke tempat makan. Kalau aku lagi suka meminjam buku dari perpustakaan dan aku cinta mati sama bukunya, dia yang terlebih dulu membeli dan memberi buku itu. Ya, dia se-generous itu. Se-inisiatif itu. Se-baik itu. Dialah se-seorang.

Namun, aku tidak pernah jatuh cinta padanya. Bukannya aku tidak pernah mencoba. Entah kenapa aku gak bisa. Aku sudah berkali mencoba, itu fakta. Dia selalu cinta. Aku..

Kereta bergerak kasar ke kiri. Membuat setitik air mata jatuh menetes di kertas ini. Tidak ada yang peduli, akupun tidak. Lalu aku lanjut menulis lagi:

Bertahun-tahun berlalu. Pada akhirnya, kedekatan kita yang entah-namanya-apa mulai terkoyak. Dan di lengahnya kota Jakarta, dia meneleponku dan bercerita tentang seorang wanita yang namanya berawalkan huruf P dan berakhiran A. Aku kenal dia.

Sampai sekarang.. aku gak paham logika di antara dia, si wanita-yang-bernama-awalan-P-dan-akhiran-A, dengan aku yang gak pernah ada kisah cinta, dan kamu bilang kalian mau menikah karena permintaan si Papanya si wanita yang kamu kenal belum lama? Siang bolong. HAH?

Dia baru kenal si wanita.. tetapi langsung ketemu Papanya, disuruh nikahin anaknya, dan pria Februari ini ngadu ke saya; memangnya saya siapa? Istrinya? Pacarnya? Siapa??

Kenalin.. aku temannya sudah dari lama. Bahunya untuk menangis. Pendengar setianya ketika dia asyik bercerita.

Kenalin.. aku teman lamanya. Yang membantunya berdiri dan menopangnya.. langkah demi langkah setelah terpuruk dari masa lalunya yang menyedihkan. Aku yang selalu duduk di kursi sebelahnya ketika dia membaca dan berkendara. Aku, yang selalu mengulang-ulang voice note lantunan suaranya bernyanyi, sampai dia sering bilang: “jangan ripit-ripit :D”.

Aku teman lamanya, yang pernah takut terlihat olehnya sampai harus ngibrit mengumpat di bawah meja. Akulah proton baginya. Setelah ada jeda di beberapa bulan terakhir ini, AKU yang diam-diam belajar drum karena itu salah satu instrumen kesukaannya. Namun karena dengan jeda ini, jeda yang singkat ini, dia bertemu dengan seorang wanita-yang-bernama-awalan-P-dan-akhiran-A DAN PAPANYA.

“Terus?”. Itu jawabku.

Lanjut dia bercerita tentang penyakit seriusnya. Dia sedang jujur-jujurnya. Aku biarkan dia terus berbicara.. dia berbicara.. sampai handphone ini panas. Matakupun juga ikutan panas. Sedikit ujarku saat itu, bingung harus bilang apa dan bagaimana. Sedikit kata dariku. Ini ada yang salah. Namun aku sibuk mengecek apa yang salah. Mana yang salah?Apa yang salah? Siapa yang salah? Sambil berpikir bagaimana jika ceritanya kalo jeda itu terus memisah kita berdua, dia pergi dan menikah tanpa mengadu, itu terserah.

By the way, itu percakapan telepon terakhir dengannya. Entah di tahun 2014 atau 2015, aku lupa. By the way, kita memang bukan apa-apa.

Kita memang bukan apa-apa.

Yang penting dia berbahagia.

Kita memang bukan apa-apa.

Bukan siapa-siapa bagi kami berdua, tapi akulah seorang mantan yang “keren” dan mengintimidasi bagi si wanita. Namaku dibawa-bawa dan selalu buruk baginya..bagi teman-temannya. Seorang wanita-yang-bernama-awalan-P-dan-akhiran-A.

Aku berhenti menulis. Sejenak kulempar pandanganku ke luar kereta, mengamati winter wonderland, menghibur lara.

Lalu tak lama, mereka menikah. Aku harap mereka berbahagia.

Kembali ke dalam gerbong kereta eksekutif kebanggaan Norwegia.Tidak banyak manusia di gerbong itu. Sepuluh jam aku dimanja kehangatan dan sinyal wi-fi yang tak pernah aku sambungkan.

Cangkir teh panasku sudah kosong. Tatapanku pun kosong. Delapan bulan sejak mendengar kabar duka tentangnya dan teringat akan percakapan kita yang terakhir bertahun-tahun lalu di Jakarta. Dia sempat bercerita tentang kematiannya di masa depan. Masa depan yang akhirnya kejadian beneran di bulan Juni 2023.

Tulisan ini membuat aku selalu mengambil napas dalam berkali-kali. Delapan bulan berlalu, dan aku masih gak percaya. Dia telah tiada. Namun memori tentang kebaikannya masih di sini. Sebuah legacy.

Mungkin bila aku bisa ambil satu kata untuk kita, dialah seorang abang. Itu cukup bagiku.

Laut. Pegunungan. Gurun, selamat tidur, bang. Terima kasih sudah berjuang.

2012-2024

Previous
Previous

11-11-11

Next
Next

Kita Butuh Dialog